Sentra Tenun Gamplong Terhambat Regenerasi

MENENUN : Perajin membuat tenun di sentra Dusun Gamplong, Desa Sumberrahayu, Kecamatan Moyudan, Sleman. (suaramerdeka.com / Amelia Hapsari)

SLEMAN, SM Network – Masyarakat Dusun Gamplong, Desa Sumberrahayu, Kecamatan Moyudan, Sleman sudah sejak puluhan tahun silam menekuni kriya tenun. Mulanya berupa tenun stage. Seiring zaman, produk yang dihasilkan berkembang.

Waludin (46), salah satu pemilik usaha tenun di Gamplong menuturkan, kini ada sekitar 40 perajin yang masih aktif. Sebagian dari mereka telah tergabung dalam suatu wadah paguyuban. Usahanya sendiri dibangun sejak tahun 1998. Bertepatan masa krisis moneter,  ada konsumen yang minta dibuatkan alas piring terbuat dari bahan serat alami. Sesudahnya, tanpa disangka, order kembali datang sebanyak 8 ribu piece. 

Read More

“Setelah itu, banyak tamu yang minta sampel. Produk kami pun berkembang,” ucapnya.

Dengan order yang susul menyusul, perajin tenun di Gamplong kian tumbuh. Namun di lain sisi memunculkan persaingan harga yang tidak sehat antar perajin. Persoalan ini lantas dipecahkan dengan membentuk kelompok. Kehadiran kelompok menjadikan perajin tenun Gamplong semakin eksis. Produk mereka bahkan telah menembus pasar ekspor, kendati masih lewat trading.

“Produk yang diekspor kebanyakan placemat (tatakan). Laku di luar negeri karena bahannya ramah lingkungan,” ujar bapak tiga anak ini.

Bahan-bahan yang digunakan oleh kelompok tenun Gamplong memang didominasi serat alam seperti enceng gondok, mendong, dan lidi. Ragam produk yang dihasilkan antara lain tas, tatakan piring, tikar, wadah pensil, dan baju. Kisaran harganya mulai Rp 2.500 hingga Rp 150.000. 

Meski terlihat cukup menjanjikan, namun usaha ini belum mampu menarik minat anak muda untuk ikut terjun. Dari 10 pekerja di tempatnya, semua merupakan lansia. Tiadanya ketertarikan generasi muda, terutama dipengaruhi faktor upah.

“Kami sedang mencoba menaikkan harga produk agar bisa memberikan upah yang layak. Sekarang memang masih jauh dibawah UMR,” kata dia.

Per minggu, pekerja rata-rata hanya mengantongi Rp 100.000-Rp 200.000. Salah satu perajin, Kemilah (60) mengaku sudah menenun sejak lulus SD.

“Dulu masih kuat tapi sekarang sering gringgingen (kesemutan). Boyok (pinggang)-nya juga gampang sakit,” katanya sembari tersenyum lebar. 

Dia sebenarnya berharap anak perempuannya meneruskan tradisi membuat tenun yang sudah berlangsung turun-temurun. Namun karena hasilnya sangat minim, dia bisa memahami jika anaknya memilih pekerjaan lain.


(Amelia Hapsari/CN26/SM Network)

Related posts

Leave a Reply