MUNGKID, SM Network – Sejarah masuknya etnis Tionghoa ke Kabupaten Magelang masih dapat disaksikan melalui keberadaan Pecinan, khususnya Pecinan Muntilan. Dimana Pecinan atau kampung etnis Tionghoa adalah bentukan Belanda yang melokalisir etnis tersebut pasca pemberontakan Tionghoa di Batavia pada tahun 1740-1743 yang meluas hingga pantai utara Jawa.
“Kemudian etnis Tionghoa dilokalisir oleh Belanda, boleh memilih tempat yang strategis dimanapun, dan difasilitasi oleh Belanda. Namun bila ingin keluar masuk kampung harus wajib lapor kepada Belanda pemerintah kala itu,” jelas Tokoh Tiong Hoa Muntilan, Harto Juwono, yang memiliki latar belakang Doktor Sejarah alumni Universitas Indonesia, Senin (9/3).
Pecinan Muntilan sendiri muncul saat perang Diponegoro, dimana Belanda berusaha mematahkan perang gerilya pasukan Pangeran Diponegoro, dengan siasat Benteng stelsel, pada tahun 1828 di Sleko ada kampung benteng. Saat pembangunan benteng sudah disebutkan nama komunitas Tionghoa di Muntilan.
“Pemasok kosumsi dan akomodasi ke Benteng Stelsel milik Belanda tersebut adalah sebagian komunitas Pecinan,” jelasnya. Seiring berjalannya waktu, Pecinan Muntilan kemudian semakin berkembang dengan beragam jasa dan tempat usaha, mulai dari Taksi Muntilan-Talun, ada pula jurusan ke Blabak.
Selain itu terdapat juga tempat judi yang sekarang menjadi Apotik Tri Ningsih di Pecinan Muntilan, yang juga merupakan tempat societeite atau lokasi orang Belanda bersosialita. “Kala itu taksi masih berwujud kendaraan Oplet, yang beroperasi mulai 1920 sampai 1949. Tempat judi tersebut berada di depan Kantor Kawedanan Muntilan, agar bila terjadi kerusuhan aparat lebih cepat melakukan penanganan,” papar Harto.
Kendati pasa masa lampau Pecinan Muntilan mengalami masa keemasan, namun saat ini keramaian perdagangan di Pecinan Muntilan mulai berkurang, akibat bergesernya dinamika budaya. Menurut Harto, hal tersebut dipengaruhi dari sistem pendidikan dimana kurikulum sekolah China terdapat materi berdagang, dan sekolah Belanda kala itu menerapkan sistem yang berbeda.
“Dulu di sekolah Tiong Hoa Hwee Koan (THHK), diajari bagaimana cara menjadi pedagang. Namun Belanda juga membuat sekolah untuk warga Tiong Hoa, Hollandsch Chinneese School sekarang menjadi SD Yoseph. Dimana kurikulumnya siswa dipersiapkan menjadi profesional atau pegawai kantoran bukan berdagang,” paparnya.
Akibatnya budaya berdagang untuk kaum muda di Pecinan lambat laun berkurang, sehingga mempengaruhi geliat perdagangan di Pecinan Muntilan. Selain itu banyaknya sekolah Belanda di Muntilan juga memberikan pengaruh budaya yang tidak kecil. Diantaranya SMA Van Lith awalnya Kweekschool menjadi Hollandsch Indlansche Kweekschool. SMA Marsudirini dahulu bernama Schakelschool dan STM Pangudiluhur dahulu Standaarschool.
“Banyak yang jadi profesional, seperti dokter, pengacara, notaris dan lain-lain, mereka disuruh berdagang sudah tidak bisa karena memang tidak diajari atau dipersiapkan untuk berdagang,” ungkap Harto.
Selanjutnya Pecinan Muntilan mulai berkembang, termasuk adanya Klenteng di Muntilan, yang awalnya berada di sebelah barat jalan Pemuda Muntilan. Kemudian pada tahun 1905 Klenteng Hok An Kiong berada di posisi seperti sekarang ini.
“Awalnya Klenteng dari bambu, posisinya berada di belakang Penggadaian Muntilan. Dan dulu dihalaman Klenteng yang sekarang adalah pasar Muntilan, kemudian karena jumlah pedagang meningkat Pasar Muntilan dipindah ke lokasi saat ini pada tahun 1935. Dilokasi awal, Klenteng terbuat dari bambu, pernah dilakukan evakasi penggalian ditemukan keramik. Dan terdapat angka 1878 pada altar, yang disinyalir adalah tahun pembangunan Klenteng Muntilan sebelum dipindah,” papar Harto.
Dian Nurlita