SM Network – Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy punya strategi baru bagi negara untuk mengurangi kemiskinan di Indonesia. Dia mengusulkan agar orang kaya menikah dengan orang miskin atau sebaliknya.
Orang kaya yang menikah dengan sesama orang kaya dan orang miskin yang kawin dengan orang miskin, menurut Muhadjir, hanya melanggengkan kesenjangan sosial-ekonomi: kelas menengah-atas bertambah banyak, sementara masyarakat menengah ke bawah akan bertambah lebih banyak lagi. Masalahnya terletak di masyarakat miskin, karena, menurut perhitungannya, pernikahan sesama orang miskin sama dengan memunculkan sedikitnya 250 ribu orang miskin baru setiap tahun.
Keluarga miskin juga berpotensi buruk karena akan melahirkan anak-anak kurang gizi dan tumbuh tidak sehat. Kemiskinan, katanya, adalah sumber penyakit, salah satunya stunting atau kerdil. Anak-anak yang tidak sehat akan melahirkan generasi yang tidak sehat pula sehingga memicu kemiskinan baru. “… dan ini membuat mata rantai kemiskinan tidak dapat diputus.”
Perlu Fatwa
Diakui atau tidak, dalam masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim, ajaran Islam yang menganjurkan laki-laki atau perempuan mencari jodoh dengan yang setara, se-kufu atau kafa’ah, memicu pernikahan dengan kelas sosial yang sama: miskin dengan miskin; kaya dengan kaya.
Sesungguhnya ajaran itu multitafsir. Sebagian menafsirkannya setara secara kelas sosial maupun ekonomi, sebagian yang lain setara secara martabat. Tetapi, sebagaimana Muhadjir yakini, masyarakat Indonesia lebih banyak yang menafsirkannya setara secara kelas sosial maupun ekonomi. Maka, ketika tradisi sesama orang miskin menikah menjadi mapan, rantai kemiskinan itu sulit diputus.
Berdasarkan catatan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, masyarakat Indonesia yang berumah tangga mencapai 57.116.000 jiwa. Hampir 10 persen di antaranya, 9,4 persen atau sekitar 5 juta, adalah keluarga miskin.
Angka itu hanya mencakup mereka yang dipastikan benar-benar miskin. Ada juga masyarakat yang status sosial-ekonominya hampir miskin, seperti kelas di tengah antara kelas menengah dengan bawah, yang mencapai 16,8 persen atau sekitar 15 juta. Ada 2,5 juta perkawinan di Indonesia per tahun dan 10 persen di antaranya, menurut Muhadjir, adalah calon keluarga miskin.
Dalam pandangan sang Menteri, untuk memutus rantai tradisi turun-temurun itu, yang diakibatkan bias penafsiran atas satu ajaran agama, diperlukan fatwa tertentu. Karena itulah dia mengusulkan fatwa agar orang kaya menikah dengan miskin, atau sebaliknya, demi memperbaiki strata sosial-ekonomi.
Meski demikian, fatwa itu mestinya tidak mengikat atau berkonsekuensi hukum, melainkan sekadar gerakan moral bersama. Lebih pasnya, anjuran agar diikuti oleh banyak orang sehingga menjadi gerakan umum. Kalau tidak begitu, rantai kemiskinan itu tidak akan pernah terurai. Kira-kira begitulah penalarannya.
Sayangnya, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu tak punya tolak ukur keberhasilan atas solusi yang dia tawarkan; tidak disebut bahwa jika fatwa itu diterbitkan, tingkat kemiskinan diperkirakan menurun berapa persen. Dia malah berdalih, “Itu ‘kan intermezo.” Jadi seolah usulan yang asal sebut saja Urusan Pribadi.
SM Network/Viva