Magelang cukup banyak menyimpan kisah-kisah tempo dulu yang patut diketahui di jaman milenial saat ini. Salah satunya cerita tentang tempat-tempat yang menyajikan sajian kuliner lezat atau restoran yang di jaman kolonial Hindia Belanda cukup populer.
Era sekitar tahun 1930 menjadi masa ketika banyak orang dari bangsa Eropa bermukim di Kota Magelang. Tak kurang dari 4.200 orang Eropa tinggal di Magelang. Mereka berprofesi sebagai tentara, birokrat, pedagang, pemilik perkebunan, dan lain-lain.
Orang-orang bule ini banyak tinggal di jalan-jalan utama Kota Magelang. seperti Grooteweg Noord Pontjol (Jalan A Yani ruas Poncol), Bottonweg (Jalan Pahlawan ruas Botton), Bajemanweg (Jalan Tentara Pelajar), Kwarasan, Badaanweg (Jalan Pahlawan), dan kawasan tangsi militer (Rindam IV).
Koordinator Komunitas Kota Toea Magelang, Bagus Priyana kepada Suara Merdeka mengatakan, banyaknya orang Eropa berdomisili di Kota Magelang ini mengakibatkan banyak kebutuhan yang harus dipenuhi. Salah satunya kebutuhan bahan makanan dan restoran.
“Maka, tak sedikit yang membuka toko dan restoran. Toko dan restoran ini tak hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja, tapi juga meningkatkan gengsi atau prestis mereka di mata masyarakat pada strata yang sama atau di bawahnya seperti pribumi dan Tionghoa,” jelasnya.
Usaha toko makanan dan restoran pun terus berkembang seiring dengan kebiasaan orang Eropa yang sering mengadakan pesta, perayaan, atau pertemuan penting. Aneka makanan khas Eropa pun banyak dijual, seperti roti tart, susu, buah dalam kaleng, kue, biskuit, dan lainnya.
Termasuk minuman beralkohol sebagai pelengkap pesta. Toko-toko penjual bahan makanan itu pun bermunculan di Grooteweg Noord Pontjol (Jalan A Yani ruas Poncol). Toko-toko yang ada seperti Bie Sing Ho, Hesselink, Pong, Nanking, Victoria, Tan Ing Tjoan, Liong Hoe Ging, Ong Hok Liem, dan lainnya.
“Toko Ong Hok Liem menyediakan minuman beralkohol, rokok, dan cerutu. Barang serupa juga bisa didapat di toko Liong Hoe Ging. Bahkan, toko Liong Hoe Ging berani menyebut dirinya sebagai toko modern waktu itu,” katanya yang menyebut toko Liong Hoe Ging ini sekarang menjadi Toko Mahkota.
Selain kehadiran toko dan restoran, kata Bagus, muncul juga budaya makan yang populer disebut “risjttafel”. Risjttafel ini merupakan cara penyajian makanan berurutan dengan pilihan hidangan dari berbagai daerah di nusantara. Budaya ini banyak ditemui di restoran milik orang Eropa atau Cina.
“Cara penyajian ini berkambang pada masa kolonial Hindia Belanda yang memadukan etiket dan tata cara perjamuan resmi Eropa dengan kebiasaan makan penduduk setempat yang mengonsumsi nasi sebagai makanan pokok dengan lauk-pauknya,” terangnya.
Selain kawasan Poncol, di area yang lain pun berkembang toko-toko bahan makanan dan restoran, seperti seputar alun-alun ada Restoran Bandung. Lalu restoran Khoe A Bwan di kawasan Pecinan (timur Kelenteng Liong Hok Bio). Termasuk hotel yang menghadirkan budaya makan “risjttafel” juga berkembang.
“Hotel Montagne di Poncol (kini jadi Mako 2 Polres Magelang Kota) menyajikan budaya makan ini. Begitu pula Hotel Loze di timur alun-alun (kini Matahari Dept Store). Dari referensi yang saya baca, perkulineran di Magelang saat itu begitu berkembang dengan baik,” ungkapnya.
Asef F Amani